Senin, 09 November 2009

"Peran Mahasiswa Dalam Memperingati Hari Pahlawan"


“Gelora pemuda adalah romantisme perjuangan. Dalam kancah kehidupannya, figur seorang pemuda ingin menunjukkan jati dirinya sebagai manusia yang memiliki sejuta arti dengan memikul tanggung jawab cukup berat. Ia berusaha memunculkan diri sebagai seorang manusia yang memiliki kekuatan yang tinggi sehingga aura jiwa mudanya benar-benar memancar.”  (Hasan Albana).

  Sejarah takkan pernah diam untuk terus mengelu-elukan dinamika kejayaan-keterpurukan sebuah bangsa dan sejarah juga takkan pernah lupa untuk menempatkan peran pemuda atau mahasiswa sebagai pemimpin perubahan menyambut kejayaan. Karakteristik sejarah seperti inilah yang patut kita jadikan referensi untuk mencari solusi bagi permasalahan suatu bangsa, seperti dalam sebuah ungkapan yang cukup terkenal, “Sejarah akan selalu berulang”.

“Wahai kalian yang rindu kemenangan, wahai kaian yang turun ke jalan. Demi mempersembahkan jiwa dan raga untuk negeri tercinta” (Totalitas Perjuangan)

 Sepenggal lirik “Totalitas Perjuangan”  diatas adalah bagian dari sebuah Romantisme Perjuangan Mahasiswa Indonesia. Perjalanan panjang terus terukir indah mengawal catatan indah para pejuang kesempurnaan dan keadilan. Mahasiswa merupakan sebuah simbol anti-kemapanan yang terus menjadi onak dan duri bagi penguasa tiran dan ketidakadilan. Dengan ciri khas perjuangan yang sedikit naif, mahasiswa rela menjadikan tubuh mudanya sebagai garda depan pengusung perubahan yang selalu saja meminta tumbal.                                                            

  Sejarah mencatat Pada beberapa puluh tahun yang lalu, pergerakkan merebut kemerdekaan Indonesia telah memasuki era moderat yang mengedepankan fungsi-fungsi intelektual kaum muda setelah sebelumnya selalu kandas dengan metode radikal. Manuver perjuangan bangsa ini tentunya dimotori oleh mahasiswa yang membuat sebuah perkumpulan, yaitu Perhimpunan Indonesia. Beberapa dasawarsa kemudian menjamurlah berbagai organisasi kepemudaan yang akhirnya pada tgl 28 oktober 1928 silam kesadaran untuk bersatu mencapai klimaks-nya dan lahirlah Sumpah Pemuda yang baru saja kita peringati hari kelahirannya bulan kemarin. dan Pada detik-detik kemerdekaan, lagi-lagi mahasiswa menunjukkan kepemimpinannya dengan peristiwa Rengasdengklok. Pergerakkan mahasiswa juga berhasil menumbangkan dua rezim yang dinilai telah melenceng dari amanah rakyat, meskipun harus dibayar dengan beberapa nyawa yang tersungkur dalam 2 peristiwa besar pada saat itu. Perjalanan inilah yang seharusnya menjadi spirit historis mahasiswa dalam memantapkan langkahnya sebagai pengusung kejayan bangsa. Terlebih untuk hari ini dimana seluruh rakyat Indonesia memperingatinya sebagai hari pahlawan.

‘Anehnya’, paradigma Orientasi mahasiswa saat ini lebih pragmatis ketimbang idealis ditambah lagi budaya individualis yang terus mengakar dan merasuk dalam kepribadiannya. Konsekuensi logis dari kentalnya orientasi ini adalah terpolanya perilaku-perilaku oportunistis yang negatif. Mahasiswa saat ini masih berpikir, “Bagaimana cara yang instan untuk mendapatkan nilai yang baik?” Pemikiran seperti demikian telak sekali adaptasi dari hukum ekonomi klasik, “Dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.” Akhirnya jalan-jalan ‘pintas’ pun dihalalkan untuk mendapatkan hasil yang maksimal bagi kepentingan pribadi. Ironinya ketika kita melihat seorang aktivis pembela mahasiswa dan rakyat kecil dari jeratan koruptor yang setelah melakukan aksi, mereka mencontek saat ujian. Inilah sebuah fenomena yang disebut-sebut sebagai bibit-bibit koruptor. Dalam titik ekstrim yang lain, mahasiswa yang “organization oriented” juga memiliki permasalahan krusial. Dengan fokus yang sangat berlebihan terhadap kehidupan berorganisasinya, mahasiswa tipe ”organization oriented”  ini tidak memiliki prestasi akademik yang baik, atau dalam sebuah guyonan sering dikatakan ‘nasakom’ (nasib IPK satu koma…)

 inilah saatnya kita bangkit. Tunjukan bahwa kaum muda dapat kembali mengukir sejarah catatan indah para pejuang dan pengusung kejayaan bangsa ini!!

 “Bangkitlah Negeriku Harapan itu Masih ada,Berjuanglah bangsaku jalan itu masih terbentang” (Shoutul Harokah)

                Akhir kata sebagai pejuang peradaban bangsa, kaum muda atau Mahasiswa harus memilih jalan sebagai pembuat solusi ketimbang masalah. Kampus sebagai habitat mahasiswa harus menjadi laboratorium kepemimpinan, membentuk kepribadian yang mengintegrasikan potensi intelektual, fisikal, dan spiritual. Sinergisitas antara akademik dan organisasi harus diwujudkan sebagai langkah strategis. Penguasaan keilmuan harus menjadi pedoman mahasiswa dalam mengorganisasikan pergerakannya. Menciptakan organisasi yang profesional juga harus menjadi pedoman mahasiswa dalam membina kepemimpinan mahasiswa satu sama lain. Akhirnya, dimanapun berada mahasiswa harusnya menciptakan sinergisitas dengan semua elemen masyarakat yang ada di atasnya maupun di bawah mereka agar benar-benar menjadi pemimpin yang strategis pada masa kini, terutama masa depan.

                 “…Dan jangan berputus asa  dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum kafir” (Q.S Yusuf :87)

                                                                                                                                                                             Wallahu ‘alam bishawab.

Menaklukan Kegelisahan


Ada banyak hal yang lupa, bahkan tidak diajarkan di bangku sekolah, maupun di tempat kuliah manapun. Yaitu belajar untuk: “Membuka Tirai Kehidupan yang Sebenarnya”. Pelajaran berharga ini hanya bisa kita dapatkan dari perenungan hidup dan cobaan- cobaan terberat yg berhasil kita taklukkan.

Jika saya misalkan ada sebuah Rumah yg sangat besar. Saat ini kita belum memasuki rumah tersebut, kita baru melihat luarnya saja. Kemudian kita akan berusaha untuk mengintip dan membuka tirainya untuk mengetahui apa yang sebenarnya ada di dalam rumah tsb.

Sama halnya dengan kehidupan, Allah yang Maha Mengetahui menciptakan manusia sebagai khalifah di muka Bumi ini. Mengujinya dengan berbagai macam cobaan, agar manusia dapat berpikir dan mengambil hikmah dari apa yang ada dibalik cobaan tersebut.

Kehidupan di Dunia selalu diwarnai dengan tawa, canda, kesedihan, dan dibumbui dengan cobaan- cobaan berat di dalamnya. Dimana ungkapan kebahagiaan kita curahkan dalam bentuk senyuman, dan ungkapan kesedihan kita curahkan dalam bentuk tetesan air mata. Dimana adanya Bumi tempat kita berpijak dan langit di atas kita merupakan bukti bahwa kita berada dalam suatu ruangan sempit.

Cobaan yg menerpa kadang membuat kita tersungkur dan merintih kesakitan. Ujian yg menghadang seringkali membuat kita kuwalahan dan menumpahkan air mata yang tiada tara. Hembusan permasalahan yg tak kunjung reda kadang membuat pundak dan kepala kita terasa sangat berat dan ingin segera mengakhiri hidup kita yg berharga. Namun, kadang buaian kenikmatan Dunia juga membuat kita melupakan segalanya. Astagfirullah hal’adzim…

Banyak teman- teman kita yang bersedih, menangis, berputus asa, menyerah, bahkan ada yang berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Dengan alasan sudah tidak kuat lagi menjalani kehidupan ini. MasyaAllah… Itu sangatlah keliru, padahal ia tidak tahu bahwa masih ada ujian lagi yang siap menunggunya di Alam yang lain.

Dalam kamus seorang Muslim, tidak ada kata : ‘bersedih, menangis, menyerah, dan putus asa’. Kamus kita hanya memiliki sedikit kata, yaitu kata : ‘semangat, kerja keras, dan pantang menyerah’. Itulah yang kita punya dan akan kita genggam selamanya.

Seorang muslim baru dikatakan ‘sedih’, jika ia tidak bisa menjawab pertanyaan di Alam kubur. Seorang muslim baru dikatakan ‘menangis’, jika ia tidak mempunyai cukup bekal untuk berteduh di panasnya Padang Mahsyar. Dan seorang muslim baru dikatakan ‘gagal’, jika ia tidak bisa menyeberangi jembatan Shiratal Mustaqim dan terpelanting ke Neraka.

Jadi untuk apa kita bersedih dan putus asa jika hanya menghadapi segelintir cobaan di Dunia ini..? Cobaan yang ada di Dunia ini jauuuh tidak ada apa- apanya dibandingkan dengan cobaan yg akan kita lalui kelak. Saat ini Allah masih berbaik hati mau mendengar doa dan menerima tobat kita. Namun saat umur kita sudah habis, kita mau bilang apa..? Tobat pun tak akan diterima dan Doa pun tak akan didengar. Yang akan kita rasakan hanyalah kesedihan dan kekecewaan yg mendalam karena tidak melakukan yg terbaik saat masih hidup di Dunia.

Saat ini jalan yg harus ditempuh masih panjang dan waktu yg kita miliki masih banyak, maka masih ada kesempatan untuk berubah dan melakukan yg terbaik. Pilihlah jalan hidup yg terbaik menurut hati nurani Anda. Silahkan hantam dan tundukkan Dunia ini di tangan Anda. Namun jangan lupa untuk tetap meraih dan menggapai kehidupan Akhirat. Jadilah orang- orang sukses, yang tidak hanya rakus mengejar urusan Dunia, tapi juga selalu berusaha untuk menggapai Akhirat.

Dunia ini adalah pelabuhan, kita akan transit sebentar untuk mencari dan mengambil bekal kita semaksimal mungkin, agar dapat menolong kita di Perjalanan yang lebih Jauh berikutnya. Dapat memberikan kita motivasi untuk selalu menjalani hari demi hari dengan lebih baik. Dan dapat memberi kesejukan hati serta asupan energi kepada kita agar menjadi orang- orang yang tidak pernah bersedih dan mengeluh dalam menghadapi kehidupan. Amiin..

Minggu, 08 November 2009

IBUKU TERAMAT TANGGUH!!!




Pernah ketika suatu sore, tangan ibu berdarah. "terkena silet," terangnya. Setelah ibu mau memulai menjahit tas saya yang robek, ketika itu ibu mungkin tergesa gesa untuk merapihkan sebagian sisi tas saya sebelum di jaitnya karena saya sudah ingin pulang ke bandung sore itu. wanita yang kasihnya tak terbilang nilai itu mengakhirinya dengan sedikit ringisan, "Tidak apa, cuma luka kecil kok," tenang ibu.

ketika bapa sakit pun ibu senantiasa pulang pergi serang – ciruas untuk sekedar menghibur bapa agar tidak kesepian dan sedih karena kondisi kaki bapa yang patah akibat kecelakaan motor. saat pagi ibu dirumah mengurusi keperluan dede, dan keperluan bapa yang akan dibawa ke rumah sakit. Ibu menyiapkan sarapan,nyuci baju dan tak lupa menyiapkan makan siang untuk dede yang masih duduk dibangku kelas 5 sekolah dasar. menjelang magrib beliau kembali pulang kerumah untuk mengajar dede belajar. Dan mengurusi hal lainnya yang biasa bapa kerjakan dirumah maupun pekerjaan kantor bapa yang mesti di selesaikan. Tidak terasa begitulah ibu setiap harinya ketika bapa sakit. Beliaulah yang menjadi kepala rumah tangga sekaligus ibu bagi anak anaknya ini.
Subhanallah Allah maha besar… inikah satu tanda pemuliaan itu?


Sempat saya bertanya dalam hati, lelahkah ia?

Biasanya ketika saya pulang liburan ke serang, saya dan dede berebut untuk menjadi tukang pijat ibu, atau sekedar bercanda dengan beliau. Sungguh kebahagiaan luar biasa bagi saya ketika melihat wajah wanita yang ikhlas itu berseri bergembira bersama kami berdua. Seolah tidak ada beban yang beliau pikul.
Sampai detik ini saya masih teringat jelas tetesan air mata beliau ketika beliau melepas kepergian saya untuk kuliah di bandung agustus 2008 silam. Air mata penuh doa dan harapan bagi anak sulungnya yang tengah berjuang untuk cita citanya. beliau merawat saya hingga dewasa ini, seakan tiada istirahatnya.

pernah ketika tengah malam saya terbangun, saya melihat ibu masih duduk bersimpuh di sajadahnya. Ia menangis sambil menyebut nama kami satu persatu agar Allah membimbing dan menjaga kami hingga menjadi orang yang senantiasa membuat ibu tersenyum bangga pernah melahirkannya. Saya terharu sekejap untuk kemudian terlelap kembali dan hingga menjelang subuh ia membangunkan saya untuk menunaikan shalat shubuh.

Selepas shubuh, wanita yang ketulusannya hanya mampu dibalas oleh Allah itu meneruskan pekerjaanya sebagai ibu rumah tangga, Satu tanyaku kala itu, kapan ia terlelap?

Pagi hari di sela kesibukannya sebagai ibu rumah tangga, ia juga harus menyiapkan pakaian dede untuk ke sekolah. Sabar ia meladeni teriakan dede yang minta pelayanannya.
Wanita yang namanya diagungkan Rasulullah SAW itu, tak pernah marah atau kesal. Sebaliknya dengan segenap cinta yang dimilikinya ia berujar, "aa sudah besar, bantu mama ya."

Ingin sekali kutanyakan, pernahkah ia berkesah?

***
Kini, setelah 19 tahun ia lakukan semua itu, setelah bertampuk-tampuk doa dan selaut tangisnya di hadapan Allah, saya tak pernah, dan takkan pernah bertanya apakah ia begitu lelah. Karena saya teramat tahu, bahwa Ibuku tangguh!.